Hiu Paus: Pemanfaatan, Sebaran, Tingkah Laku, Kebiasaan Makan

Hiu Paus: Pemanfaatan, Sebaran, Tingkah Laku, Kebiasaan Makan – Ikan Hiu Paus adalah hiu pemakan plankton yang merupakan spesies ikan terbesar. Hiu ini sering dijuluki dengan sebutan whale shark, karena ukuran tubuhnya yang besar dan kebiasaan makannya dengan menyaring air laut untuk memakan plankton menyerupai kebanyakan jenis paus. Hiu ini mengembara di samudera tropis dan lautan yang beriklim hangat, dan dapat hidup hingga berusia 70 tahun. Hiu paus dipercaya berasal dari sekitar 60 juta tahun yang lalu. Hiu paus ini tidak jenis hiu yang tidak berbahaya.

Mendengar kata hiu paus tergambar oleh kita gabungan dua jenis biota perairan yaitu hiu yang ganas dan paus yang berukuran besar, penggambaran tersebut ada benarnya, hiu paus merupakan jenis ikan terbesar di dunia dengan panjang total dapat mencapai 18 meter, di Indonesia hiu paus dikenal juga dengan beberapa nama lokal, diantaranya hiu totol, hiu bodoh dan geger lintang, hiu paus merupakan jenis ikan migrasi, saat ini populasi secara internasional rawan mengalami ancaman kepunahan, dan dalam konvensi internasional CITES masuk dalam daftar Apendiks II.

Pemerintah indonesia telah menetapkan hiu paus rhincodon  typus sebagai jenis ikan yang dilindungi secara penuh melalui keputusan menteri kelautan dan perikanan nomor 18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu paus, ini berarti penangkapan dan perdagangan hiu paus menjadi kegiatan yang dilarang dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berimplikasi pada sanksi pidana, walaupun hiu paus telah ditetapkan sebagai jenis yang dilindungi penuh namun peluang pemanfaatan potensi ekonominya masih terbuka,  khususnya  untuk  kepentingan  pariwisata  bahari.

Hiu paus (Rhincodon typus) merupakan ikan terbesar di dunia, di Indonesia hiu paus memiliki beberapa nama lokal tergantung dari daerahnya, misalnya masyarakat Papua menyebutnya gurano bintang, di  Probolinggo  dinamakan  hiu tutul atau Geger Lintang dalam Bahasa Jawa, dan masih banyak nama  daerah lainnya.

Kemunculan (agregasi) hiu paus di beberapa lokasi telah menjadi destinasi pariwisata di beberapa negara seperti Australia, Filipina, Seychelles, Maladewa, Belize, dan Meksiko, kemunculan hiu paus di beberapa lokasi di Indonesia; seperti di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan Pantai Bentar-Probolinggo, juga telah mendorong berkembangnya kegiatan pariwisata berbasis hiu paus.

Hiu paus memiliki karakteristik biologi yaitu pertumbuhan dan proses kematangan kelamin/seksual yang lambat, jumlah anakan yang dihasilkan (reproduksi) relatif sedikit dan berumur panjang, karakteristik tersebut yang menjadikan hiu paus rentan mengalami kelangkaan bahkan kepunahan apabila eksploitasi tanpa terkendali.

Hiu paus dikategorikan sebagai hewan yang bermigrasi atau memiliki jangkauan wilayah yang luas, pada tahun 1999, hiu paus ditetapkan masuk ke dalam Apendiks II dalam Convention on Migratory Species (CMS) yang artinya hiu paus baru akan ‘merasakan’ dampak yang signifikan bila perlindungan dan pengelolaannya diterapkan melalui kerja sama internasional, hal ini menunjukkan bahwa upaya konservasi untuk spesies tersebutperlu dilakukan melalui jejaring antar berbagai negara.

Pada tahun 2000, hiu paus masuk dalam Daftar Merah untuk Species Terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status rentan (vulnerable) yang artinya populasinya diperkirakan sudah mengalami penurunan sebanyak 20-50% dalam kurun waktu 10 tahun  atau  tigagenerasi, kemudian pada tahun 2002, hiu paus akhirnya dimasukkan dalam Apendiks II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang artinya perdagangan internasional untuk komoditas ini harus  melalui  aturan  yang menjamin  pemanfaatannya  tidak  akan  mengancam  kelestariannya  di  alam.


Klasifikasi Ikan Hiu Paus

[table id=40 /]


Morfologi Ikan Hiu Paus

Morfologi Ikan Hiu Paus

hiu paus memiliki bentuk kepala yang lebar dan gepeng dengan mulut, garis insang dan sirip punggung (dorsal) pertama yang besar, serta pola totol-totol putih dan garis di kulitnya yang cenderung berwarna keabu-abuan, pola totol-totol putih ini unik untuk setiap individu dan dijadikan dasar untuk melakukan identifikasi, seperti sidik jari.

Alasan pasti mengapa hiu paus memiliki pola kulit yang demikian belum diketahui, namun, beberapa hipotesa menyatakan bahwa pola tersebut merupakan bentuk kamuflase, mengenali individu yang berbeda dalam aktivitas sosial karena spesies hiu sendiri memiliki kemampuan visual yang cukup tinggi, dan proses adaptasi untuk memfilter ultra violet karena hiu paus termasuk jenis ikan yang banyak menghabiskan waktu di dekat permukaan laut.

  • Memiliki tubuh yang sangat besar, hiu paus dewasa dapat mencapai panjang hingga 20 meter.
  • Kepala datar dan lebar, mata kecil, dan mempunyai 5 celah insang sangat besar.
  • Mulut sangat lebar, dengan posisi yang hampir terminal.
  • Sirip ekor berbentuk seperti hutup “V” terkadang seperti berbentuk “bulan sabit”.
  • Mempunyai sirip 2 punggung, yang satu tegak menjulang ke atas dan yang satunya lagi kecil/pendek terkadang hampir tak terlihat.
  • Memiliki sepasang sirip dada.
  • Memiliki sepasang sirip anal.
  • Umumnya tubuh berwarna abu-abu dengan corak totol dan garis-garis yang berwarna putih/kuning serta memiliki kulit yang tebal dan pada bagian atas sisi tubuhnya terdapat guratan-guratan yang menonjol.

Habitat dan Sebaran

Berbeda dengan mayoritas hiu dari Ordo Orectolobiformes yang merupakan kelompok hiu bentik, hiu paus memiliki habitat pelagis yang berarti bahwa hiu paus lebih banyak menghabiskan waktu di permukaan atau kolom perairan, ikan ini dapat dijumpai di perairan lepas hingga perairan pantai, bahkan kadang masuk ke daerah laguna di pulau atol, selain itu, hiu paus cenderung bersifat kosmopolitan, Sebaran hiu paus meliputi perairan tropis dan subtropis hangat (18-30oC) pada posisi di antara 30o N dan 30o S, kecuali di Laut Mediterrania.

Hiu paus di Indonesia dapat ditemui antara lain di perairan Sabang, Situbondo, Bali, Nusa Tenggara, Alor, Flores, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua, kehadirannya di daerah Probolinggo, Jawa Timur cenderung bersifat musiman (Januari-Maret), sementara di Teluk Cenderawasih, Kwatisore, Teluk Cenderawasih, Papua yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional (TNTC) hiu paus hadir sepanjang tahun.


Tingkah Laku

Hiu paus merupakan ikan yang bermigrasi hingga jarak ribuan kilometer, hal ini diperkuat dengan hasil studi TNTC yang merupakan kawasan pertama di Indonesiayang menjadi tempat studi hiu paus dimulai, hasil pemasangan PSAT/ penanda satelit pada enam ekorhiu paus di TNTC sejakMei 2011 sampai Juni 2014 menunjukkan bahwa hiu paus berenang keluar kawasan TNTC (yang terjauh bahkan berenang sampai ke sebelah timur Filipina di perairan internasional), namun kemudian kembali lagi ke TNTC.

Selain melakukan pergerakan secara horizontal (geografis), hiu paus juga melakukan pergerakan secara vertikal, hiu paus mampu menyelam sangat dalam hinggakedalaman 750-1000m, namun umumnya hiu paus lebih banyak menghabiskan waktu di perairan yang dangkal kurang dari 50 m atau di dekat permukaan, sama seperti hiu pemakan plankton lainnya (Basking Shark), ketertarikan hiu paus untuk menghabiskan lebih banyak waktu di perairan yang cenderung dangkal diduga karena oleh keberadaan makanannya yang berada di dekat permukaan, sementara kecenderungan hiu paus melakukan penyelaman di perairan dalam diduga untuk mengikuti pergerakan makanannya atau pun untuk mendeteksi kondisi suatu perairan.


Kebiasaan Makan dan Makanan

Hiu paus diketahui memiliki tiga cara makan, yaitu:

  1. Berenang sambil  menyaring  air  di  permukaan  dan  lapisan  di  bawah permukaan (surface and subsurface passive feeding).
  2. Berenang sambil  menyedot  air  di  permukaan  dan  lapisan  di  bawah permukaan (surface and subsurface ram filter/active feeding).
  3. Diam di tempat secara vertikal sambil menyedot air (stationary/vertical suction feeding).

Walaupun hiu paus biasanya bersifat soliter, namun hampir di seluruh lokasi agregasinya, hiu paus cenderung berkumpul ketika makanannya tersedia, Hiu paus beragregasi di Ningaloo Reef, Australia setiap musim gugur dengan puncaknyaterjadi pada April sampaiawal Mei.

Periode tersebut merupakan waktu pemijahan massal terumbu karang (coral mass spawning), berdasarkan  pengamatan  langsung   dan   pemeriksaan   isi   perutnya,   makanan hiu paus terutama berasal dari beraneka ragam jenis  plankton;  seperti  copepoda, cacing panah/arrow worm (chaetognatha), larva kepiting, moluska, krustasea, telur karang, dan telur ikan, hiu paus memakan telur hasil pemijahan ikan kakap (Lutjanus cyanopterus, dan L. jocu) di Belize, selain itu, hiu paus juga memakan cumi-cumi kecil dan ikan kecil.


Reproduksi

Seekor hiu paus betina berukuran 10,46 m yang ditangkap di Pantai Timur Taiwan pada Juli 1995, dari rahimnya ditemukan 300 embrio berukuran 42 sampai 63 cm dengan kantung telurnya yang siap untuk dilahirkan, berdasarkan hasil studi tersebut, disimpulkan bahwa hiu paus bersifat ovovivipar yang berarti telur disimpan di dalam rahim, kemudian sang induk melahirkan anak-anak yang sudah hidup bebas.

Hiu paus diduga baru matang kelamin atau mencapai kedewasaan pada saat berusia 30 tahun dan dapat hidup sampai 100 tahun, ukuran matang seksual hiu paus jantan berkisar antara 8-9 m, sementara hiu paus betina diduga mencapai dewasa pada ukuran panjang total >10 m.

Ukuran anakan hiu paus yang siap dilahirkan berkisar antara 42 sampai 64 cm dengan panjang rata- rata 51 cm dengan berat 660,2 gram, berdasarkan data dari beberapa lokasi agregasi seperti di TNTC, Papua, rata-rata ukuran hiu paus berkisar dari 4 sampai 6 m, hal ini berarti bahwa umumnya individu yang ditemukan di lokasi-lokasi tersebut masih belum dewasa (adolescent).


Agregasi

Hiu paus diketahui memiliki sifat yang cenderung soliter, namun di beberapa lokasi ditemukan beberapa hiu paus yang berkelompok (melakukan agregasi), alasan kecenderungan hiu paus untuk beragregasi belum diketahui secara pasti, namun diduga berkaitan dengan ketersediaan makanan di suatu lokasi, beberapa negara di dunia yang mengamati kemunculan agregasi hiu paus di wilayah perairan mereka akhirnya mengembangkan wisata berbasis hiu paus.

Sebagian besar populasi hiu paus yang ditemukan melakukan agregasi adalah yang belum dewasa dan berjenis kelamin jantan; seperti di Ningaloo Reef-Australia, Belize, dan Quintana Roo-Mexico, dengan pengecualian seperti di Galapagos di mana individu yang ditemukan sebagian besar adalah hiu paus betina yang diduga sedang hamil, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana lokasi ideal untuk individu dewasa hidup, di mana mereka kawin dan beranak, riset dan studi lebih lanjut sangat diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Di Indonesia, studi hiu paus baru dimulai di wilayah TNTC, hiu paus terutama muncul di sekitar bagan karena tertarik dengan kumpulan ikan yang terperangkap dalam bagan, kumpulan ikan yang umumnya dari jenis ikan teri atau ikan puri (sebutan masyarakat setempat) merupakan bahan makanan untuk hiu paus, hasil monitoring dan studi di TNTC menemukan bahwa komposisi populasi hiu paus yang teramati di TNTC 76% berjenis kelamin jantan yang belum dewasa dengan rata-rata ukuran 4,4 ± 1,3 m, tren pengamatan ini sesuai dengan tren populasi hiu paus di dunia.


Ancaman

Penangkapan hiu paus dengan menggunakan tombak dan jaring telah dilaporkan dari beberapa negara seperti India, Pakistan, Taiwan, Indonesia, Filipina (yang kemudian melarang kegiatan perikanan pada tahun 1998), dan Maladewa (sampai dengan tahun 1995), kegiatan perikanan di Taiwan berlangsung pada skala yang cukup besar sampai 250-300 ekor per tahun (informasi anekdotal) sampai akhirnya dilarang pada tahun 2007.

Bagian yang diperdagangkan dari hiu paus meliputi sirip (memiliki nilai ekonomis tinggi), minyak hati, rahang, daging (segar, dikeringkan, atau diasinkan), perut dan usus (untuk makanan), tulang rawan (untuk suplemen kesehatan), dan kulit (untuk produk kulit), minyak hati hiu paus biasa digunakan oleh masyarakat untuk melapisi lambung kapal, untuk membuat lambung kapal menjadi anti air.

Hiu paus yang cenderung berenang dengan lambat, terkadang ditabrak oleh kapal yang melintas (Compagno, 2001), tabrakan ini dapat menyebabkan luka permanen pada hiu paus atau pun kematian, namun data mengenai insiden tabrakan antara hiu paus dengan kapal tidak terdokumentasikan.

 Namun, pada tahun 2012 hiu paus diberitakan beberapa kali tersangkut jaring nelayan di Tapanuli Tengah-Sumatera Utara dan Kenjeran- Surabaya, ketidaktahuan nelayan menyebabkan hiu paus akhirnya mati dan bagian tubuhnya kemudian dimanfaatkan masyarakat.

Sepanjang tahun 2011-2013, hiu paus di wilayah TNTC ditemukan beberapa kali terperangkap di jaring bagan, walaupun bukan merupakan target tangkapan, hiu paus biasa dibiarkan tinggal dalam jaring dari pagi sampai sore hari sampai jaring bagan siap diturunkan untuk memulai ativitas penangkapan.

Tim WWF bersama beberapa mitra telah beberapa kali membebaskan hiu paus yang terperangkap dalam bagan dan menurut pengamatan lapangan, hiu paus yang terperangkap tampak lemas, interaksi hiu paus dengan bagan (menabrak bagan, terkait mata kail, tergesek nelon, diusir dengan benda tajam oleh nelayan bagan) dan perahu/ kapal (ditabrak) terkadangmenimbulkan luka, baik yang permanen atau tidak pada beberapa hiu paus.


Pemanfaatan

Sifatnya yang bersahabat dan ukuran tubuhnya yang besar merupakan daya tarik dari hiu paus, si raksasa lembut, kegiatan wisata berbasis hiu paus ditemukan berlangsung di beberapa negara tempat hiu paus biasa beragregasi; seperti di Ningaloo Reef-Australia, Donsol dan Oslob-Filipina, Seychelles, Bahia de los Angeles dan Isla Holbox-Mexico, turis terutama datang untuk melihat dan berenang/menyelam bersama hiu paus.

Di Indonesia, sejak ditetapkan sebagai ikan yang dilindungi penuh, segala bentuk pemanfaatan yang bersifat ekstraktif untuk hiu paus dilarang, kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan hanya yang bersifat non ekstraktif yakni melalui kegiatan wisata, kegiatan wisata bisa ditemukan di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (Balai Besar TNTC, 2013) dan Pantai Bentar, Probolinggo.

Berdasarkan data Balai Besar TNTC (2013), jumlah turis yang datang ke TNTC untuk melihat dan berenang/menyelam bersama hiu paus  semakin  meningkat (2010 sejumlah 46 orang, 2011 sejumlah 750 orang, 2012 sejumlah 1757 turis, dan 2013 sejumlah 1822 turis)  seiring  dengan  semakin  mendunianya  hiu  paus dari Cenderawasih, sebagai pedoman untuk berinteraksi dengan hiu paus, Balai Besar TNTC telah menetapkan Standar Operasional Prosedur Wisata Whale Shark (Rhincodon typus) di Taman Nasional Teluk Cenderawasih melalui SK.218/BBTNTC-1/ Um/2013.

Di Pantai Bentar, turis dapat melihat hiu paus dari atas perahu, berbeda dengan di TNTC, hiu paus di Probolinggo muncul di daerah dekat pesisir yang relatif dangkal dan keruh sehingga tidak memungkinkan untuk atraksi berenang bersama dengan hiu paus, kemunculan hiu paus pun berlangsung tidak sepanjang tahun, melainkan hanya pada bulan Februari-Mei.

Kegiatan wisata berbasis hiu paus yang kurang terkontrol dapat memberikan dampak yang negatif terhadap perubahan perilaku hiu paus, menurut Craven (2012), pemberian makan di Oslob-Cebu, Filipina dapat menyebabkan hiu paus mengasosiasikan manusia dengan sumber makanan sehingga mereka akan cenderung berenang mendekati manusia, petunjuk berinteraksi yang sudah ditetapkan, harus dipastikan pelaksanaannya melalui pengawasan dan penegakan aturan di lapangan untuk mengurangi dampak kegiatan wisata dan menjaga kealamian interaksi dengan hiu paus.

Pengembangan wisata berbasis hiu paus di Indonesia harus dimulai dengan prinsip kehati-hatian, informasi bahwa hiu paus merupakan ikan yang dilindungi penuh  perlu  disebarluaskan  ke  masyarakat,   pengembangan   kegiatan   wisata pun harus dilakukan berdasarkan pedoman pemanfaatan hiu paus yang sedang dikembangkan oleh KKP-KKJI.


Kearifan Lokal

Hiu paus atau “Gurano Bintang” dianggap sebagai hantu laut oleh masyarakat di TNTC, ketika hiu paus muncul, maka masyarakat akan mematikan mesin dan tinggal diam di dalam perahu sampai hiu paus lewat, kemunculan hiu paus juga dipercaya sebagai pertanda bahwa akan ada kedukaan (orang meninggal), namun sejak hiu paus menjadi atraksi wisata, masyarakat mulai menganggap hiu paus sebagai ikan yang bersahabat, kemunculan hiu paus oleh nelayan bagan yang biasanya berasal dari suku Bugis, Buton, dan Makassar juga dianggap sebagai pertanda baik karena kemunculannya biasa diikuti oleh ikan-ikan pelagis kecil yang menjadi target bagan (komunikasi personal).

Masyarakat diprobolinggo mengeramatkan hiu paus yang dipercaya sebagai penunggu pantai utara, hiu paus yang biasa dipanggil kikaki dipercaya menjadi kendaraan nenek moyang masyarakat probolinggo bila pergi ke tanah leluhur dipulau madura, masyarakat pun tidak berani menangkap hiu paus karena dianggap akan mendatangkan petaka, pada tahun 2010, dua ekor hiu paus yang terdampar dan mati dikuburkan dengan ritual, sampai sekarang makanya masih dapat ditemukan di Desa Randu Putih.

Sedangkan masyarakat bajo dilamalera percaya bahwa hiu paus atau kareo dede adalah ikan yang dijaga oleh dewa dan dapat melindungi atau membantu nelayan pada saat dibutuhkan, oleh karena itu masyarakat bajo tidak memburu hiu paus dan apabila tidak sengaja tertangkap pun, harus segera dibebaskan.

Demikian sedikit pembahasan mengenai Hiu Paus: Pemanfaatan, Sebaran, Tingkah Laku, Kebiasaan Makan semoga dengan adanya pembahasan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk kita semua, dan kami ucapkan Terima Kasih telah menyimak ulasan kami.

Baca juga artikel tentang :

Save